Pagi ini aku datang ke sekolah seperti biasa untuk belajar di sekolah. PR yang diberikan ibu Intan, guru IPAku semua sudah ku kerjakan. Aku adalah salah seorang penggemar ibu Intan. Sehingga setiap kali pelajaran IPA, aku selalu mengerjakan PR yang diberikan beliau. Berbeda dengan pelajaran lain yang sangat jarang ku kerjakan.
Aku adalah anak ke enam dari delapan bersaudara. Saat aku duduk di bangku SMP, aku sangat sulit sekali memahami setiap pelajaran yang diberikan bapak/ibu guru. Setiap pulang sekolah aku bersama dengan abangku pergi ke ladang membantu ibu. Sambil mencangkul di ladang sekujur tubuh ibuku penuh dengan keringat sehingga pakaian yang dikenakannya pun hampir basah seluruhnya oleh keringat. Aku pun turut serta membantu ibu mencangkul membersihkan tanaman jagung yang dikelilingi dengan rumput. Cuaca panas tidak menyurutkan semangat ibuku untuk bekerja di ladang. Semua itu dikerjakannya supaya hasil panen jagung bisa bagus, berbuah banyak, dan hasilnya bisa dijual untuk mencukupi biaya hidup kami dan juga biaya sekolah kami anak-anaknya.
Ayahku sepertinya sudah terbiasa dengan hidupnya sehari-hari. Dia begitu menikmati kebersamaannya dengan kawan-kawannya di warung kopi. Bermain judi, berfoya-foya, itulah kebahagiaan ayahku setiap hari yang membuat hati ini sangat terluka dan penuh rasa sakit hati yang mendalam akan kebiasaan ayahku. Ingin rasanya aku melabrak ayahku saat di warung, tetapi ibuku selalu menasihati kami anak-anaknya, supaya selalu menghormati orang tua, tetap selalu bersabar dan mendoakan ayah supaya suatu saat ayah bisa berubah. Abang dan kakakku sudah terbiasa dengan kondisi ini, dan membuat mereka menjadi sangat cuek dengan situasi yang ada. Mereka menjadi suka bermalas-malasan, suka berkata-kata kasar dan tidak mau membantu pekerjaan ibu di ladang. mereka sepertinya memberontak dengan kondisi keluarga ini. Hanya aku dan abang yang paling sulung lah yang mau perduli membantu meringankan beban ibu kami.
Sangat keras dan kejam kehidupan ini. Sehingga membuatku harus berjuang untuk bisa segera keluar dari keterpurukan keluarga kami ini. Dalam hati aku berjanji bahwa aku harus bisa membuat ibuku tersenyum bahagia. Tetapi apa yang harus aku lakukan? Hidup kami sangat susah secara ekonomi. Dengan penghasilan ibu yang tergantung dari hasil ladang. Peran ayah di rumah sangat tidak bisa kami rasakan, dia sangat tidak peduli dengan nasib kami anak-anaknya. Dia hanya hidup untuk dirinya sendiri, dia tidak bekerja dan hanya mengharap dari ibu saja. Badan ayahku sangat kekar, kuat, bertenaga, tapi selalu menyusahkan ibuku. Karena dia selalu menjadi parasit di tengah-tengah keluarga kami. Entah apa tujuan dan maksud ayahku bertingkah seperti itu. Tapi ya sudahlah, aku hanya bisa mengelus dada ini, dan berdoa kiranya ibuku selalu dalam lindungan Sang Maha Pencipta.
Diusiaku dulu yang masih remaja, aku selalu bercita-cita untuk menjadi orang kaya, punya banyak uang, untuk bisa membantu ibuku supaya tidak lagi bersusah-susah untuk bekerja di ladang. Aku ingin membawa ibuku untuk menikmati indahnya kehidupan ini kelak kalau aku sudah besar nanti. Aku ingin membuat ibuku tertawa lepas, tersenyum lebar, karena bahagia. Aku ingin mewujudkannya. Oh... Tuhan. Bisakah aku melakukannya Tuhan? Itu yang selalu kumohonkan dalam doaku kepada Allah Sang Pemilik Kehidupan. Aku percaya semua pasti Allah wujud nyatakan dalam hidupku. Aku sangat percaya itu. Iman dan keyakinanku itulah yang membuatku terus bertahan dan semangat menjalani hari-hariku.
Seperti biasa, setiap pagi aku selalu bangun lebih awal setelah ibuku. Aku selalu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, dan segera bergegas untuk pergi ke sekolah. Hari ini sekolah kami kedatangan mahasiswa PKL dari Universitas Negeri Medan. Mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng dan terlihat gagah dengan jaket almamater berwarna biru yang dikenakannya. Tiga bulan mereka praktek di sekolah kami. Mereka berbagi cerita dan pengalamannya kepada kami. Ada dari mereka yang mengatakan bahwa sebagian dari mereka bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, tapi berasal dari keluarga yang sederhana. Aku terpesona mendengar berbagai motivasi, semangat dan arahan yang diberikan kepada kami. Dalam hatiku berkata aku ingin seperti mereka memakai baju almamater, kuliah di kampus dan bisa menjadi orang sukses. Belajar keras dan berdoa dengan sungguh-sungguh, itu yang dipesankan mereka kepada kami.
Sesampai di rumah, aku cepat-cepat mengganti seragamku, makan siang dan segera bergegas untuk pergi ke ladang. Aku menceritakan segala hal kepada ibuku tentang mahasiswa PKL yang praktek ke sekolah kami tersebut. Aku mengatakan kepada ibuku kalau aku ingin seperti mereka. Ibuku memelukku dengan begitu hangat. Ibuku tersenyum dan mengatakan "terjadilah seperti keinginan hatimu anakku". Mintalah kepada Allah Sang Penguasa Alam Semesta, dia pasti akan mengabulkan doa dan keinginanmu nak. Begitu yakinnya ibuku akan pesannya. Sambil berurai air mata ibuku memegang erat tanganku dan akupun ikut menangis dipelukannya yang hangat.
Selama sekolah aku bukanlah seorang yang pintar dari segi akademik. Buktinya waktu SD kelas 2 aku pernah tinggal kelas karena belum mampu membaca dan berhitung. Sehingga berlanjut di SMP pun aku masih sangat kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Namun aku bertekad harus bisa menjadi orang yang sukses. Oleh sebab itu aku meminta izin kepada ibuku untuk melanjutkan sekolah ke SMA yang ada di luar kota tepatnya di kota Pematang Siantar. Berkat doa dan dukungan ibu dan saudaraku, maka aku menjalani masa SMA di salah satu SMA Negeri yang ada di pematang Siantar dan tinggal di kost-kosan. Karena tujuan aku bersekolah adalah untuk membahagiakan ibuku. Banyak pelajaran di SMA yang begitu sulit bagiku, tapi aku tidak putus asa. Setiap hari sepulang sekolah aku selalu menyempatkan diri untuk belajar sampai malam hari. Hampir tidak pernah aku berjalan-jalan keliling kota atau nongkrong dengan teman-teman sepulang sekolah. Bukan karena tidak mau tapi aku mencoba menahan diri, menahan selera, karena memang uang jajan ku sangat sedikit sekali dikirim ibu. Tapi aku tetap semangat untuk terus berjuang dan meyakini semua pasti akan indah pada waktunya. Aku mengimani bahwa kesuksesan itu ada di depan mata. Dan aku harus tekun belajar dan berjuang mendapatkannya. Dari uang jajan yang sedikit itu aku mengambil kesempatan untuk mengikuti les tambahan di bimbingan belajar untuk mengejar ketinggalan ku dalam pelajaran.
Di tempat aku sekolah, banyak teman yang berbaik hati kepadaku, mereka senang berteman denganku, mungkin karena gayaku yang simpel, sederhana, penurut, ramah dan rendah hati, karena itu adalah didikan ibuku. Sepertinya mereka memahami kondisiku. Sering kali saat mereka jajan, mereka membagi jajan kepadaku. Sering aku menolak tapi mereka melarang dan menyatakan bahwa mereka mengganggap aku sahabat mereka sehingga aku nggak boleh menolak jajan pemberian mereka. Kadang hati ini sedih karena sangat jarang sekali aku jajan dan harus berhemat supaya aku bisa ikut les di bimbingan belajar. Akhirnya usahaku tidak sia-sia. Selama tiga tahun berturut-turut aku mendapat rangking tiga besar di kelas. Tidak sedikit teman-temanku yang mengajakku untuk belajar kelompok, mengajakku ke rumah mereka untuk belajar bersama. Senang sekali, bukan hanya dapat banyak teman, aku bisa berbagi ilmu kepada teman, dan yang juga tidak kalah pentingnya, aku bisa makan makanan yang enak-enak di rumah mereka karena orang tua mereka sangat welcome kepadaku. Maklum anak kost, bisa makan gratis itu sangat menyenangkan. Nikmat Tuhan yang luar biasa yang aku dapatkan.
Usahaku tidak sia-sia. Jerih payahku dalam belajar, doa-doaku setiap hari, deraian air mata dan keringat ibuku untuk menyekolahkan aku, semuanya menjadi satu dalam untaian kebahagiaan ketika aku lulus melalui jalur SMPTN di Universitas Sumatera Utara, sebuah kampus bergengsi di kota Medan. Entah berapa banyak air mata ini yang mengalir di pipi sampai tak terbendung. Sangat bahagia.
Perjuanganku belum selesai. Perjuangan ibuku pun belum berakhir. Ibu masih tetap ku buat susah untuk menyiapkan biaya kost yang tidak sedikit, biaya kuliah, biaya hidupku selama di kota Medan yang pasti tidak sedikit juga. Sering kali ibu terlambat mengirim biaya bulananku yang tersendat masalah keuangan. Bahkan ibu sering juga meminjam uang dari tetangga untuk membayar uang kuliahku. Menghemat dan terus menghemat itulah yang setiap hari kulakukan. Dalam masa sulit itu, aku tidak pernah jajan, tidak pernah jalan-jalan seperti ke mall atau pun ke bioskop seperti yang dilakukan teman-teman kuliahku. Kegiatanku setiap hari adalah ke kampus, ke perpustakaan, pulangnya jalan kaki ke kos. Kalau soal makan sehari-hari, aku catering makanan setiap hari dengan bayar bulanan. Jadi sedikit banyak aku sudah bisa memperkirakan berapa biaya hidupku setiap bulannya di ibukota ini. Cita-citaku tetap sama seperti dulu, ingin punya banyak uang untuk membahagiakan ibuku supaya ibu tidak lagi bersusah-susah ke ladang. Supaya ibu bisa menikmati masa tua dengan bahagia.
Empat tahun adalah hal yang terberat yang aku rasakan di ibukota. Namanya saja kota, penuh dengan gedung pencakar langit, restoran yang menyebar di banyak tempat,tapi aku belum bisa menikmati bagaimana nikmatnya tinggal di ibukota. Namun aku tetap bertahan demi satu tujuan untuk membuat ibuku bahagia.
Aku yakin doa dan air mata seorang ibu sangat besar maknanya. Sulit aku membayangkan bagaimana perjalanan hidupku bisa sampai di titik ini. Suka duka telah menyelimuti batin ini. Keringat, air mata, perasaan, semuanya sudah ibu korbankan untukku hingga aku bisa lulus kuliah dengan gelar sarjana ekonomi yang akhirnya bisa kudapatkan. Dan semua dimudahkan-Nya, setelah aku wisuda dan aku diterima bekerja sebagai ASN di kantor pemerintahan di departemen keuangan RI. Kerja keras ku dan kerja keras ibuku telah membahagiakan kami. Dan doa ibuku adalah suksesku.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar